Sabtu, 06 Juli 2013

Senyum Surga



Seberkas cahaya membekas di hati, karena
seulas senyum serupa semburat pagi
yang meretas sunyi di punggung bukit

betapa Tuhan ciptakan surga dengan sederhana
dititipkanNya dalam senyummu
dan, cahaya yang terpancar dari matamu
Ia jadikan jalan menujuNya

-Maulisa

Sepasang Mata



Sepasang mata masih terjaga,
Menatap langit namun tak menemu apa-apa..

Sepasang mata masih terjaga,
Meraba kenangan dalam lipatan masa,

Sepasang mata masih terjaga,
Bertanyalah pemiliknya pada Sang Pencipta:
Tuhan, maukah kubagi rahasia?

Sepasang mata masih terjaga,
Berteman senyum yg mengapung di udara..

Maulisa~
Malang, 280613--Ketika Insomnia

Memori



Kekosongan bukanlah apa-apa
Sesuatu yang tak tampak bukan berarti tidak ada

Waktu tidak terbatas,
dan tidak meninggalkan bukti
Ruang tidak terbatas,
dan tidak meninggalkan jejak janji

Masa lampau, kini, dan mendatang
tidak lebih dari sebuah momentum yang akan menghilang

Memorilah satu-satunya saksi, yang ada akan tetap ada
Mengingkari sekeras apa, yang dipikirkan akan tetap membekas ingatan, ya?

 

Maulisa-
Antariksa, 290613--Ketika (lagi-lagi) tidak bisa memejam mata

Cinta Tak Pernah Datang Terlambat



Januari, 2010
Rasa memainkan ujung kerudungnya dengan gemas. Sudah lewat dua jam dari waktu yang dijanjikan untuk bertemu, tapi sang pembuat janji belum terlihat batang hidungnya. Jam sekolah sudah usai sejak empat jam yang lalu, hanya terlihat beberapa orang siswa dari ekstra-kurikuler basket yang masih bertahan di sekolah. Rasa mengecek handphone-nya, memastikan bahwa ia telah mengirim SMS dengan benar kepada sang pembuat janji. ‘Terkirim.’ batinnya. Bosan menatapi jalanan dengan jumlah kendaraan yang tidak terhitung, Rasa memutuskan untuk memainkan salah satu game favorit di telepon pintarnya. Asik memainkan game dari handphone-nya, Rasa tidak menyadari bahwa orang yang sudah ditunggunya sejak dua jam yang lalu telah menampakkan batang hidungnya, dan kini asik menatap Rasa yang tampak sibuk dengan permainannya. ‘Game Over’ tertera di layar telepon pintar Rasa, ia menghembuskan nafas kesal. Raka, yang ternyata adalah sang pembuat janji, tertawa kecil melihat tingkah kekanakan Rasa. Muhammad Radika atau lebih akrab disapa Raka adalah mahasiswa kedokteran tahun ke dua di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Laki-laki yang sudah mengenal Rasa sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar ini adalah teman dekat Rasa saat ini. Rasa dan Raka menolak untuk melabeli diri masing-masing dengan sebutan pacar, karena hubungan yang terjalin di antara mereka memang tidak selayaknya orang pacaran, hanya sebatas teman yang saling mengerti satu sama lain, itu saja. Rasa mendongakkan kepalanya, memasang muka sebal pada Raka. Raka menanggapi muka sebal Rasa dengan memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.
Sorry...?” katanya, meringis.
“Sora-sori, sora-sori... jamuran tau mas...” Jawab Rasa, masih dengan ekspresi sebal.
“Ada praktikum tadi, dadakan. Maaf ya?” kata Raka yang kini sudah berubah serius.
“Oke, yauda, mas mau ngomong apa sih sampe nggak bisa diomongin di telepon segala? Tumben...”
“Mm, Sa...” kata Raka ragu-ragu. Rasa menunggu.
“Nggak sih, cuma mau minta ditemenin ke makam mama...” kata Raka akhirnya. Ia berbohong. Sebenarnya Raka ingin mengatakan bahwa ia ingin memperjelas ikatan di antara mereka dengan melamar Rasa segera setelah ia dinyatakan lulus dari sekolah menengahnya, tapi Raka mengurungkan niatnya karena tidak ingin membuat Rasa terbebani. Seperti sebuah pasangan radar yang selalu mengetahui dengan tepat kondisi masing-masing, Rasa tahu bahwa Raka tidak benar-benar hanya ingin ditemani ke makam mamanya, tapi Rasa tidak memaksa Raka untuk mengatakan apa yang sudah ia putuskan untuk tidak dikatakannya, maka Rasa hanya tersenyum.
“Oh, oke... kapan mas?”
“Minggu ini, at 9. Aku jemput. Cool?”
“Cool.” Jawab Rasa dengan senyum khasnya.
“Oke. Pulang? Aku anter?” tanya Raka menawarkan tumpangan.
“Nggak deh, aku uda SMS Mbak Ica minta jemput tadi. Mas Raka duluan aja, bentar lagi Mbak Ica juga dateng.”
“Aku tunggu di sini sampe Ica dateng kalo gitu, aku nggak mau kamu diculik, hehehe.” Kata Raka. Ia mengambil posisi duduk bersebrangan dengan Rasa karena dengan begitu ia bisa menatap Rasa lebih jelas. Rasa menundukkan wajahnya yang tampak memerah.
Lima menit kemudian sepeda motor matic putih yang sering di sebut kuda putih oleh Rasa memasuki pelataran sekolah Rasa. Mbak Ica—kakak Rasa—membuka helm yang dipakainya dan memanggil Rasa.
“Dek, buruan keburu maghrib di jalan.”
“Iya.” Kata Rasa. Ia bangkit dari tempat duduknya dan melambaikan tangan pada Raka,
“Duluan, mas.” Katanya sambil berlari menuju kakaknya. Raka melambai. Kuda putih milik Ica melaju membelah jalanan kota Surabaya yang mulai gelap. Senja merah saga akan segera tenggelam, berganti permadani hitam penghias malam.
Sesampainya di rumah, Rasa dikejutkan dengan kedatangan Renaldi yang ternyata telah menunggunya sejak sore tadi. Orang tuanya dan orang tua Renaldi adalah sahabat sejak mereka duduk di bangku kuliah, keadaan itu membuat Rasa dan Renaldi juga dekat. Rasa menganggap Renaldi sebagai sahabat sekaligus kakak laki-laki yang tidak pernah dimilikinya.
“Mas Aldi? Tumben...” kata Rasa spontan ketika melihat Renaldi telah duduk manis di ruang tamunya.
“Iya nih Sa, ada yang pengen aku omongin sama kamu.” Kata Renaldi sumringah.
“Oya? Apa?” tanya Rasa, penasaran. Renaldi hanya tersenyum.
“Nanti aja, masuk dulu sana. Mandi, Sholat. Setelah itu baru aku ngomong.”
“Mas Aldi uda sholat? Kok uda anteng duduk di kursi...”
“Belum, kan baru adzan. Aku nungguin papamu, mau jamaah di mushola depan.”
“Menantu idaman.” Jawab Rasa sambil nyengir menatap kakaknya, yang di tatap tak acuh dan nyelonong masuk ke ruang tengah. Rasa masih tertawa cekikikan melihat kakaknya yang gondok setiap kali ia mencoba menjodohkannya dengan Mas Aldi—panggilan kecil Renaldi—nya. Renaldi yang tidak benar-benar memahami candaan kedua kakak-beradik itu hanya diam tidak menanggapi kata-kata Rasa. Ada hal lain yang sekarang lebih mengganggu pikirannya yaitu, reaksi Rasa setelah mengetahui maksud dan tujuannya datang hari ini, nanti.
Rasa telah duduk manis dengan dua gelas jus tomat favorit Renaldi di depannya. Ia menunggu Renaldi pulang dari mushola bersama papanya. Lima menit kemudian Renaldi dan papanya terlihat memasuki pintu pagar rumah. Rasa masih duduk dalam posisinya semula, Renaldi melihat dua gelas jus toma kesukaanya telah siap di meja ruang tamu, ia tersenyum.
“Wow, baik banget.” Katanya. Papa Rasa tersenyum menyaksikan cara Rasa memperlakukan Renaldi yang telah menunggunya sejak sore tadi.
Your favorite, as my apology for letting you wait..” Jawab Rasa, tulus.
No need to apologize actually, but thanks. You know me so well~” Renaldi menjawab dengan menyanyikan satu bait lirik lagu salah satu boy band yang tidak begitu digemarinya. Rasa tertawa mendengar Renaldi menyanyikan lirik lagu tersebut.
Papa Rasa mengambil tempat duduk di samping Rasa, sementara Renaldi memilih duduk di sofa yang menghadap ke arah Rasa. Rasa yang tidak mengira bahwa papanya juga akan bergabung dengan mereka saat itu merasa ada sesuatu yang sangat penting yang akan disampaikan oleh Renaldi, mengingat papa Rasa bukanlah seorang ayah dengan tipikal gemar nimbrung obrolan remaja. Setelah berbasa-basi selama beberapa saat, Renaldi mulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya hari itu.
“Sa, aku dapet beasiswa S2 di Perancis.” Kata Renaldi membuka pembicaraan seriusnya.
“Hah? Serius mas? Wah, kereeen... selamat!” Sahut Rasa bersemangat. Ia ikut berbahagia dengan kabar baik yang disampaikan Renaldi tersebut.
“Iya, Alhamdulillah. Mm, makasi Sa.” JawabRenaldi.
“Then? Problem? Kok mukanya mas kuyu nggak semangat gitu sih?” tanya Rasa beruntun, karena ia tidak melihat sirat kebahagiaan di wajah Renaldi.
“Papa sama Mama minta aku menikah—atau setidaknya bertunangan—dulu, sebelum aku berangkat ke Perancis. Aku... aku, kesini, untuk meminta kamu.” Kata Renaldi sedikit terbata. Rasa terlihat sedang berusaha mencerna perkataan Renaldi dengan baik. Ia tertegun.
“Kamu nggak perlu jawab sekarang kok, Sa... aku cuma mau menyampaikan niatku aja hari ini, aku sudah minta ijin sama papamu tadi sebelum kamu datang, beliau menyerahkan sepenuhnya sama kamu, begitu juga aku.” Lanjut Renaldi. Rasa masih belum terlihat ingin memberikan tanggapan. Ia terdiam lama, menciptakan kristal-kristal waktu.
Setelah terdiam selama sepuluh menit, Rasa akhirnya membuka mulut.
“Kenapa, Rasa?” tanyanya.
“Karena aku sayang sama kamu Sa...” jawab renaldi sendu.
“Rasa juga sayang sama Mas Al, tapi rasa sayang itu tidak lebih dari kasih sayang seorang adik terhadap kakak laki-lakinya... Maafin Rasa ya, Mas Al? Mungkin bukan Rasa orang yang tepat buat Mas Al...” kata Rasa panjang lebar. Ada batu yang membelesak hatinya saat ini, ia tidak pernah menyangka bahwa ia-lah yang pada akhirnya menghunus hati laki-laki yang sudah ia anggap sebagai kakaknya itu dengan pisau tajam yang menyakitkan. Aldi terdiam. Ia terlihat sedang berusaha keras untuk bersikap tenang dan dewasa. Setelah beberapa saat, Aldi tersenyum ke arah Rasa.
It’s fine. Sudah dianggap kakak oleh adik semanis kamu, itu cukup. Kalo gitu, mungkin aku harus mulai cari calon istri yang lain, hehehe. Om, Aldi pamit. Assalamualaikum.” Katanya seraya menjabat tangan papa Rasa yang terlihat tidak enak dengannya.
Sepeninggal Renaldi dari rumahnya, papa Rasa berbicara singkat pada Rasa.
“Papa harap kamu benar-benar menyadari apa yang baru saja kamu lepaskan, Rasa.” Selesai berkata demikian, papa Rasa meninggalkannya sendirian di ruang tamu.
Satu bulan sejak hari penolakannya terhadap Renaldi, Rasa mendapatkan undangan pernikahan dari Renaldi di meja belajarnya. Ia bertanya pada mamanya kapan undangan itu diantar dan kata mamanya baru tadi pagi undangan itu diantar via pos. ‘Apa Mas Al masih marah sama aku? Kenapa dia nggak mau nganter undangannya sendiri ke aku?’ batin Rasa tidak nyaman.
23 Februari 2010, Rasa menghadiri acara pernikahan Renaldi dan Ratna. Ratna adalah teman satu kelas Renaldi semasa kuliah, satu tipe, satu minat. Dari apa yang didengarnya, Ratna juga mendapatkan beasiswa yang sama dengan Renaldi, hanya saja kali ini Ratna mengambil Interior Design, berbeda dengan Renaldi yang memilih jalur Arsitek, linear dengan pendidikan sarjananya.
Rasa berjalan ke pelaminan dengan kepala tertunduk. Renaldi melihat Rasa dari kejauhan, ia telah mempersiapkan diri untuk hari itu. Renaldi sama sekali tidak marah pada Rasa, hanya saja ia masih belum bisa sepenuhnya menghapus Rasa dari dalam hatinya. Meski demikian, Renaldi berusaha untuk menghargai Ratna sebagai istrinya sekarang, seperti janjinya di hadapan Tuhan dan segenap saksi yang menyaksikan prosesi akad nikah mereka kemarin. Rasa menangkupkan kedua tangannya di hadapan Renaldi, Ica yang berada tepat di belakang Rasa mencoba untuk menyelamatkan adiknya dari suasana tidak nyaman berpura-pura terdorong oleh tamu yang berada di belakangnya. Rasa beralih ke Ratna, ia menyalami Ratna, tapi di luar dugaannya, Ratna menarik tangan Rasa dan memeluknya, pelukan hangat seorang kakak. Ratna membisikkan beberapa kata kepada Rasa.
“Terimakasih sudah menjadi adik yang manis untuk Aldi, aku harap mulai sekarang kamu juga bisa menganggapku sebagai kakakmu.” Selesai berkata demikian, Ratna melepaskan pelukannya dan tersenyum tulus ke arah Rasa. Rasa balas tersenyum.
Mendengar bisikan dari Ratna, entah kenapa membuat Rasa merasa lega. Kelegaan yang sulit digambarkan. Dalam hatinya ia tulus mendoakan kebahagiaan bagi Ratna dan Renaldi.
Lima Tahun Kemudian
Juli, 2015
Rasa melepas muridnya satu per satu de depan gerbang taman kanak-kanak tempatnya mengajar sekarang. Setelah lulus kuliah Rasa bekerja menjadi asisten dosen di kampusnya, selain itu ia juga mengambil pekerjaan sebagai seorang guru taman kanak-kanak. Anak-anak selalu membuatnya merasa tenang, kebahagiaan sederhana yang bisa ia dapatkan kapan pun itu terletak pada senyum manis murid-muridnya. Melalui anak-anak, Rasa juga belajar untuk melepaskan kesedihannya sedikit demi sedikit setelah meninggalnya Raka satu tahun silam.
Rasa menghampiri salah seorang muridnya yang belum dijemout oleh orang tuanya. Anak perempuan yang wajahnya mengingatkan Rasa akan seseorang itu bernama Rena. Rasa tersenyum dan menyapa Rena yang terlihat sedang menghitung waktu dengan jemari mungilnya itu. Kebiasaan unik Rena ini tiba-tiba mengingatkannya pada sosok Renaldi yang sudah sekian lama tidak ia dengar kabarnya. Dulu, Renaldi juga gemar sekali menghitung waktu dengan jari-jarinya, tidak jarang ia mengucapkan angka-angka itu keras-keras untuk menghalau bosan karena menunggu,  mengingat Renaldi membuat Rasa menghela nafas tanpa sadar. Rasa menyapa Rena,
“Rena belum dijemput?”
“Belum, Bu guru..”
“Ibu temenin di sini, boleh?”
“Boleh, bu...” kata Rena, imut.
Lima menit kemudian sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan pagar sekolah. Perempuan muda berkerudung biru cerah keluar dari mobil tersebut. Rasa belum menyadari jika perempuan itu adalah Ratna, tapi Ratna tahu perempuan yang kini menemani putrinya itu adalah Rasa. Ratna berjalan menghampiri Rena dan Rasa.
“Mama...” teriak Rena begitu melihat Ratna memasuki sekolah. Ratna menyambut Rena dalam pelukan. Ia mengusap-usap rambut Rena sayang. Rasa berjalan menyusul Rena dan Ratna, ia tersenyum ke arah Ratna namun senyum itu berubah menjadi ekspresi kaget setelah Rasa menyadari bahwa mama dari muridnya tersebut adalah istri dari laki-laki yang baru saja melintasi pikirannya. Pantas wajah Rena seperti mengingatkannya pada wajah seseorang, ia baru menyadari bahwa wajah Renaldi-lah yang terduplikasi secara sempurna di wajah Rena. Mata, hidung, dan mulut mereka berdua benar-benar identik. Ratna tersenyum ke arah Rasa.
“Lama nggak ketemu, dek...” kata Ratna yang menyelipkan kata ‘dek’ di akhir kalimatnya, membuat Rasa menjadi semakin kikuk. Rasa mengangguk saja.
“Kamu, sibuk? Kalo nggak keberatan, ayo main ke rumah... kita saling tukar kabar masing-masing, gimana?” ajak Ratna. Rasa enggan untuk mengiyakan ajakan tersebut, tapi ia juga tidak memiliki alasan untuk menolak ajakan Ratna, ia pantang berbohong. Pada akhirnya, Rasa memutuskan untuk memenuhi undangan Ratna berkunjung ke rumahnya, temu kangen katanya.
Rumah Ratna besar, tapi terkesan sangat minimalis. Cat rumah yang berlokasi di salah satu perumahan elite kota Malang ini didominasi warna krem dan coklat, warna favorit Renaldi, seingat Rasa.
Ratna banyak bercerita kehidupannya selama empat tahun di Perancis. Ia dan Renaldi telah memiliki 3 orang anak sekarang, si sulung Rena 4 tahun, yang kedua, laki-laki, Raldi 3 tahun, dan si bungsu cantik yang belum genap 4 bulan, Rasa. Rasa sempat kaget ketika ratna menyebutkan nama anak bungsunya. Ia tidak menyangka bahwa Renaldi akan memberikan namanya untuk nama anaknya, meski hanya nama panggilan karena nama asli mereka berbeda, ia, Ralisa Ahmad, sementara nama putri bungsu Renaldi dan Ratna cukup unik, Mutiara Rasa.
“Kamu, gimana? Sudah menikah?” tanya Ratna akhirnya. Kini giliran Rasa yang harus bertukar cerita pada Ratna. Sebenarnya ia enggan bercerita tentang dirinya, mengingat hal itu pasti akan mengingatkannya pada kejadian tragis yang menimpa Raka satu tahun silam. Mata Rasa menerawang jauh, kepergian  Raka meninggalkan patahan yang cukup serius di hati Rasa. ‘Patahan yang belum benar-benar sembuh, mungkinkah hari ini aku harus mengulangi semua ceritaku dan mulai mengumpulkan setiap patahan dari awal lagi?’ batinnya perih.
Rasa mulai bercerita, ia sangat berusaha untuk terlihat tegar. Setelah Renaldi dan Ratna menikah, Rasa melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Malang. Ia mengambil mayor Sastra Indonesia yang memang telah menjadi minatnya sejak ia duduk di bangku sekolah. Semuanya berjalan lancar sampai ia di wisuda. Satu bulan setelah wisuda-nya, ia dan Raka berencana menikah. Namun, manusia terbentur pada kemampuannya yang hanya sebatas perencana, seindah apapun  rencana manusia, rencana Tuhan-lah yang menjadi penentu. Rencana pernikahannya dan Raka semestinya sudah hampir menjadi sebuah kenyataan, sebelum Tuhan mengambil nyawa Raka lewat sebuah kecelakaan beruntun tepat sehari sebelum ia mengucapkan ijab qobul pernikahan mereka. Setelah kepergian Raka, Rasa berjuang keras untuk bangkit dari rasa sedihnya. Show must go on, itu prinsipnya. Sepahit apapun takdir memperlakukannya, Rasa berusaha menghapus kepahitan itu dengan senyuman. Rasa menenggelamkan dirinya dalam kesibukan. Ia mengambil dua pekerjaan sekaligus, asisten dosen dan pengajar taman kanak-kanak. Selain itu, ia juga memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke strata dua. Rasa mengakhiri ceritanya dengan mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya tertahan. Ratna memeluk Rasa. Mereka berdua berpelukan dalam waktu yang lama dan tidak menyadari kehadiran Renaldi di tengah-tengah mereka.
Ratna melepaskan pelukannya dan mendapati Renaldi berdiri di belakang Rasa, ia beranjak membawakan tas Renaldi.
“Maaf mas, aku nggak denger mas pulang...” kata Ratna. Rasa tidak menoleh, ia diam pada posisinya.
“Nggak apa-apa, kayaknya kamu juga lagi ada tamu yang butuh dihibur, eh?” kata Renaldi setengah bercanda, ia belum menyadari bahwa tamu istrinya adalah Rasa.
“Iya, mas... tamuku ini, Rasa, adikku.” Kata Ratna. Lagi-lagi ia menyelipkan kata adik di akhir kalimatnya. Rasa berbalik, ia tersenyum ke arah Renaldi, Renaldi balas tersenyum.
“Hai, Sa... sudah lama banget ya? Nggak nyangka bisa ketemu di sini...”
“Rasa ini gurunya Rena di sekolah mas, aku baru tau hari ini. Tadi aku sedikit terlambat menjemput Rena di sekolah, dan Rasa menemani Rena sampai aku datang, karena dia nggak lagi sibuk, aku ajak aja ke rumah, temu kangen.” Jelas Ratna panjang lebar, Rasa hanya mengangguk mengiyakan.
“Oh...” sahut Renaldi, tidak banyak berkomentar.
“Yauda, lanjutin aja ngobrolnya... aku masuk dulu ya,” kata Renaldi yang langsung masuk ke dalam rumah, di susul Ratna yang masuk membawakan tas Renaldi.
Rasa merasa Renaldi tidak begitu nyaman dengan kehadirannya, ia memutuskan untuk segera pamit jika Ratna kembali nanti. Sayang, Ratna membuat Rasa tertahan lebih lama di rumahnya, Ratna meminta Rasa untuk menunggu sampai makan malam karena ia telah menyiapkan makanan yang menurutnya akan menjadi favorit Rasa di kemudian hari, Rasa tidak tahu. Rasa tidak enak jika hanya berdiam diri di ruang tamu, ia menawarkan diri untuk membantu Ratna di dapur, namun Ratna menolak bantuan dalam bentuk apapun selama ia sedang memasak, ia justru menyuruh Rasa bermain dengan Rasa kecil yang baru saja dimandikan oleh baby-sitternya, Rasa menurut.
Rasa menggendong tubuh Rasa kecil yang begitu mungil. Jika Rena dan Raldi merupakan duplikasi sempurna dari Renaldi, maka putri bungsu dari Ratna dan Renaldi ini adalah perpaduan sempurna wajah kedua orang tuanya. Mata Rasa kecil merupakan duplikasi dari mata Ratna yang sipit, semntara hidung dan mulutnya merupakan duplikasi dari Renaldi. Rasa menikmati momennya bersama Rasa kecil. Renaldi menatap Rasa dari kamar putranya, Raldi. Jika boleh jujur, Renaldi senang bisa bertemu dengan Rasa hari ini. Lima tahun tidak bertemu, membuahkan rindu yang cukup dalam di hati Renaldi. Rasa, perempuan yang dulu pernah dicintainya, sama sekali tidak berubah. Rasa tetap seperti sebutir telur, keras dan tegas di luar, tapi sesungguhnya ia sangatlah rapuh.
Makan malam telah siap. Ratna memasak berbagai jenis masakan di meja makan, tumis kailan, tumis buncis, wortel dan telur puyuh, ayam kremes, dan fillet gurame asam-pedas. Semua makanan itu terlihat lezat. Rasa menikmati makanannya, masakan Ratna sangat enak. Sebagai seorang istri, Ratna terlihat tidak memiliki celah, sholehah, cantik, pintar, keibuan, masakannya pun enak. ‘Mas Al nggak salah pilih istri,’ batin Rasa lega. Ratna meminta pendapat Rasa tentang masakannya di tengah-tengah makan malam mereka.
“Gimana dek? Enak?”
“Banget. Jempol deh, Mbak...” jawab Ratna, tersenyum tulus.
“Syukurlah kalo gitu, hehe.” Ratna tertawa lega.
“Mbak, mbak kerja di mana sekarang?” kata Rasa membuka pembicaraan.
“Di perusahaannya Mas Aldi, tapi aku cuma jadi konsultan aja sih, nggak kerja di kantor. Mas Aldi ngasi aku gambaran eksteriornya, aku ngonsep interiornya dari rumah, kalo cocok, pegawainya Mas Aldi yang nerusin langkah selanjutnya, aku tinggal kasi masukan. Enak. Nggak perlu capek ke kantor, hehe.” Katanya bercanda. Setelah obrolan tersebut, menit yang tersisa mereka lewatkan dalam pikiran masing-masing. Renaldi tidak terlalu banyak bicara, hal ini membuat Rasa menjadi tidak nyaman. Ia sudah memutuskan, setelah ini ia akan segera berpamitan.
Rasa menyelesaikan piring terakhirnya dan meletakkannya di rak piring. Setelah makan, Rasa memaksa Ratna untuk mengijinkannya mencuci piring, dan dengan sangat terpaksa Ratna mengijinkannya karena Rasa mengancam ia tidak akan mau diundang makan lagi jika Ratna menolak bantuannya yang tidak seberapa jika dibanding makan malam yang ia dapatkan.
“Mbak, aku pamit ya? Makasi buat makan malamnya hari ini...” pamit Rasa.
“Aku anter ya? Uda malam nih, kamu naik angkot kan?”
“Nggak usah deh mbak, kontrakan aku deket kok dari sini...” tolak Rasa, halus.
“Nggak apa-apa, sekalian biar aku tau kamu tinggal di mana...” sahut Ratna setengah memaksa. Rasa mengiyakan.
Ratna menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kontrakan yang pagarnya ditumbuhi bunga bougenvile. Ratna mengantarkan Rasa sampai ke depan pintu rumah kontrakannya.
“Sendirian?” tanya Ratna.
“Nggak mbak, ada temen aku 2. Mau mampir dulu?” ajak Ratna berbasa-basi.
“Nggak deh, lain kali aja... yauda aku balik dulu, kamu masuk gih dek...” Ratna berpamitan, Rasa melihat mobil Ratna berlalu dan ia pun bergegas masuk ke rumah, satu hari yang panjang telah ia lalui.
Sejak pertemuan hari itu, Ratna menjadi semakin sering menemui Rasa. Banyak hari yang mereka lewatkan berdua. Di satu sisi, Rasa merasa senang karena ia memiliki teman baru yang sudahia anggap seperti kakaknya sendiri, Rasa banyak belajar bagaimana hidup berumah tangga dari Ratna, tapi di sisi lain, intensitas bertemu dengan Ratna yang cukup sering membuatnya harus sering bertatap muka dengan Renaldi—karena Ratna bukan tipikal yang hobi keluar rumah, maka Ratna selalu mengajaknya ke rumahnya setiap kali mereka bertemu. Hal tersebut membuat hati Rasa, entah bagaimana, hidup dalam irama yang naik-turun. Sikap Renaldi yang sudah tidak sehangat dulu menyisakan rasa yang tidak nyaman bagi Rasa pribadi.
Hari ini Rasa janji bertemu dengan Ratna lagi. Rasa menunggu Ratna menjemput Rena seperti biasanya. Lima menit kemudian, Ratna tiba di taman kanak-kanak Rena. Mereka bertiga meluncur ke sebuah supermarket yang terletak di sebuah Mall di tengah kota yang terkenal dengan buah apelnya itu. Ratna mengajak Rasa belanja beberapa kebutuhan rumah tangga sebelum mereka pulang ke rumah Ratna.
Usai berbelanja, Ratna mengajak Rasa untuk minum kopi di Baker’s King. Rasa merasa Ratna sedikit di luar kebiasaannya hari ini, namun karena merasa sungkan untuk menolak, maka Rasa mengiyakan saja ajakan Ratna. Mereka bertiga—Ratna, Rasa, dan si kecil Rena—duduk di sudut kafe yang sekaligus toko kue  tersebut.
“Aku pasti seneng kalo bisa seperti ini setiap hari sama kamu.” Ucap Ratna, matanya menerawang.
“Mbak ngomong apa sih? Kita kan sering berdua begini... nggak perlu setiap hari, ntar mbak bosen sama aku... hehehe.” Jawab Rasa bercanda, namun Ratna memang seperti bukan Ratna hari ini, ia menatap Rasa lurus ke matanya.
“Sa, menikahlah dengan Mas Aldi...” katanya tiba-tiba.
“Mbak! Mbak Ratna ngomong apa sih?” sahut Rasa gusar.
“Mas Aldi masih sangat menyayangi kamu, Sa... aku tau itu.”
“Mbak pasti salah, ngaco deh... Mas Aldi tuh cinta banget sama mbak, aku cuma kepingan dari masa lalu Mas Aldi yang sudah tidak ada artinya sekarang.” Jawab Rasa meyakinkan.
“Aku istrinya Sa, aku tau apa yang suamiku rasakan. Menikahlah dengan Mas Aldi, Sa... aku mohon?” kata Ratna dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa mulai tidak nyaman dengan situasi seperti itu, ia mengemasi tasnya dan bergegas pergi meninggalkan Ratna yang mungkin sedang terganggu pikirannya, namun Ratna menahan pergelangan tangan Rasa sebelum ia sempat melangkahkan kaiknya menjauh.
“Aku sakit Sa...” kata Ratna yang hampir tedengar seperti bisikan. Rasa kembali ke tempat duduknya, sementara Ratna terlihat mulai menangis. Rena yang melihat mamanya menangis mulai ikut menangis. Rasa setengah panik, tidak tahu harus berbuat apa.
“Mbak, Rena ikut nangis mbak.. udah, jangan nangis... cerita pelan-pelan ya mbak?” kata Rasa menenangkan. Ratna menyeka air matanya. Ia juga menenangkan Rena yang tadi sempat ikut sesenggukan dengannya. Setelah Rena tenang, Ratna mulai bercerita kepada Rasa.
“Kanker serviks, stadium 2.” Katnya singkat. Raut wajar Ratna mengguratkan ketegaran yang dibuat-buat. Rasa melongo, kaget bukan main.
“Setelah melahirkan Rasa, aku baru tau kalo aku mengidap kanker Sa, Rasa benar-benar keajaiban buatku... dua bulan belakangan aku rajin ikut pengobatan alternatif untuk menyembuhkan penyakitku, tapi kamu taulah sejahat apa penyakitku ini. Dokterku menyarankan untuk mengangkat kandunganku, tapi itu pun tidak bisa menjamin kesembuhanku seratus persen. Aku berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika aku memeprsiapkan kematianku mulai dari sekarang. Hal peryama yang harus aku selesaikan adalah, mencari istri dan ibu baru untuk suami dan anak-anakku, kamu.” Kata Ratnapanjang lebar. Air matanya mulai menetes satu demi satu.
“Mbak, apa salahnya mencoba tindakan operasi? Meskipun tidak ada jaminan untuk bisa sembuh seratus persen, tetap saja hal itu bukanlah hal yang sia-sia untuk dicoba, jika masih ada harapan dan kemungkinan, kita harus kejar, sekecil apapun itu. Oke?” kata Rasa menyemangati. Ratna tidak menanggapi.
“Apa bagusnya sih Sa, perempuan tanpa rahimnya?” jawabnya putus asa. Rasa menghela nafas berat, ia tidak bisa menolong Ratna jika Ratna sudah demikian kehilangan cahaya lilinnya. Rasa hanya mengelus tangan Ratna, prihatin.
Detik berikutnya, Ratna menghapus air matanya dan bersikap seolah-olah tidak ada beban besar yang sedang ia tanggung. Ia mengajak Rasa bergegas pergi dari kafe tersebut dan pulang.
Seminggu kemudian, Rasa mendengar Ratna masuk rumah sakit. Siang hari itu juga, Rasa memutuskan untuk menjenguk Ratna di rumah sakit. Ratna terbaring lemah di tempat tidurnya. Di sampingnya Renaldi terlihat setia menunggu sambil menggenggam tangan istrinya. Rasa berdiri di depan pintu kamar Ratna, enggan mengganggu, namun Ratna yang segera terbangun tidak lama setelah kedatangan Rasa, melihat Rasa dan melambaikan tangannya, meminta Rasa masuk. Renaldi menyingkir dari sisi Ratna dan mempersilahkan Rasa duduk di tempatnya tadi. Rasa meneteskan air mata, antara sedih dan tidak menyangka bahwa kondisi Ratna akan begitu cepat memburuk. Ratna menghapus anak sungai yang mengalir dari kedua mata Rasa, ia menggelengkan kepalanya, meminta Rasa untuk tidak menangis. Alih-alih menghentikan tangisnya, Rasa justru semakin sesenggukan.
“Jangan nangis Sa, aku nggak apa-apa kok...” kata Ratna lemah. Rasa menyeka air matanya, sementara Renaldi menyaksikan kedua wanita itu dengan hati seperti diiris-iris.
“Penuhi permintaanku ya, Sa? Demi Rena, Raldi, dan Rasa.” Kata Ratna.
“Mbak, jangan ngomong yang naeh-aneh dulu, mbak pasti sembuh...” jawab Rasa, menolak sikap lemah Ratna.
“Kumohon?” Ratna masih tetap mendesak.
“Mbak...” Rasa kehabisan kata-kata, ia menunduk, kembali meneteskan air matanya.
Rasa mengakhiri kunjungannya hari itu dengan satu janji baru, janji yang terpaksa ia lakukan untuk menyenangkan Ratna. Rasa berjanji pada Ratna bahwa jika Ratna meninggal nanti, Rasa akan bersedia menggantikan posisinya sebagai istri Renaldi dan ibu dari anak-anak Ratna.
Dua hari setelah kunjungannya, Rasa mendapat SMS dari Renaldi bahwa Ratna meninggal dunia. Subuh tadi, Ratna menghembuskan nafas terkahirnya. Kesempatan untuk sembuh dan kemauan untuk sembuh yang meredup membuat Ratna tidak lagi mampu bertahan lebih lama. Pukul delapan pagi, jenazah Ratna dikebumikan di Surabaya. Pagi itu, Ratna memacu sepeda motornya dengan kecepatan yang luar biasa, ia tidak ingin kehilangan momen terakhirnya bersama Ratna.
Desember, 2017
Sudah dua tahun berlalu sejak meninggalnya Ratna. Rasa terlihat sibuk menyiapkan keperluan sekolah kedua anaknya dengan kondisi perut yang mulai membesar. Enam bulan setelah kepergian Ratna untuk selama-lamanya, Rasa memenuhi janjinya dengan menikahi Renaldi dan menjadi ibu bagi ketiga anaknya, sekarang, ia tengah hamil 7 bulan.
“Rena sayang, ayo sarapan... nanti kamu terlambat masuk sekolah nak,”
“Raldi, seragamnya buruan dipake... sudah siang nak,” celoteh Rasa sementara ia menyiapkan meja makan untuk sarapan.
Si kecil Rasa yang sekarang berusia 2 tahun menangis dari dalam kamarnya, Rasa menghampiri putri kecilnya itu.
“Sayang, bidadarinya mama kenapa nangis? Cup, cup, cup...” Rasa menenangkan si kecil Rasa. Ia tidak bisa dengan mudah menggendong Rasa kecil karena kondisi perutnya yang membuncit. Renaldi membantu Rasa, ia menggendong putri kecilnya itu dan mengajaknya ke luar kamar. Rasa tersenyum, berterimakasih.
Mereka berlima di meja makan, Raldi memimpin doa sebelum makan. mereka makan dalam kehangatan keluarga kecil yang bahagia. Setelah makan, Renaldi mengantar Rena dan Raldi ke sekolah karena hari ini Sabtu, Renaldi libur.
Renaldi kembali dari mengantar kedua buah hatinya ke sekolah, ia duduk di ruang TV, memindah-mindahkan channel beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk menemui Rasa yang sedang bersama Rasa kecil di kamar bermainnya.
“Uda balik? Aku nggak denger, maaf ya...”
“Nggak apa-apa, lagian gimana mau dengar kalo kamu asik main sama Rasa...” kata Renaldi bercanda.
“Rasa pinter banget deh mas, dia udah bisa ngitung pake jarinya.” Lapor Rasa pada Renaldi.
“Alhamdulillah, anak kita semua pinter-pinter dek...”
“Alhamdulillah...” ucap Rasa, ada haru dalam hatinya. Renaldi duduk di samping Rasa, sementara Rasa kecil sibuk membongkar-pasang puzzle angkanya.
“Jadi, mau kita kasih nama siapa anak kita yang satu ini?” tanya Renaldi sambil mengusap perut Rasa yang membuncit.
“Oiya, aku belum bilang sama mas... aku, mau kasi nama anak kita ini, Rama.”
“Oke, R-family? Hehehe... apa arti Rama, dek?”
“Laki-laki yang tangguh, mungkin? Aku nggak tau arti persisnya sih, aku pilih nama itu karena itu merupakan singkatan dari rasa terimakasihku ke Mbak Ratna, yang telah membuatku berjanji padanya. Janji yang sekarang sangat aku syukuri.”
“Singkatan dari, apa?” tanya Renaldi penasaran.
“mbak RAtna teriMAkasih.” Jawab Rasa dengan senyum khasnya. Renaldi memeluk bahu istrinya sayang.
Cinta selalu tahu waktu yang tepat untuk datang, tidak pernah datang lebih cepat, tidak lebih lambat—karena cinta tak pernah datang terlambat.


Maulisa, 06072013.
Antariksa, waktu malam.