Januari, 2010
Rasa
memainkan ujung kerudungnya dengan gemas. Sudah lewat dua jam dari waktu yang
dijanjikan untuk bertemu, tapi sang pembuat janji belum terlihat batang
hidungnya. Jam sekolah sudah usai sejak empat jam yang lalu, hanya terlihat
beberapa orang siswa dari ekstra-kurikuler basket yang masih bertahan di
sekolah. Rasa mengecek handphone-nya,
memastikan bahwa ia telah mengirim SMS dengan benar kepada sang pembuat janji.
‘Terkirim.’ batinnya. Bosan menatapi jalanan dengan jumlah kendaraan yang tidak
terhitung, Rasa memutuskan untuk memainkan salah satu game favorit di telepon
pintarnya. Asik memainkan game dari handphone-nya, Rasa tidak menyadari
bahwa orang yang sudah ditunggunya sejak dua jam yang lalu telah menampakkan
batang hidungnya, dan kini asik menatap Rasa yang tampak sibuk dengan
permainannya. ‘Game Over’ tertera di
layar telepon pintar Rasa, ia menghembuskan nafas kesal. Raka, yang ternyata
adalah sang pembuat janji, tertawa kecil melihat tingkah kekanakan Rasa.
Muhammad Radika atau lebih akrab disapa Raka adalah mahasiswa kedokteran tahun
ke dua di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Laki-laki yang sudah
mengenal Rasa sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar ini adalah teman dekat
Rasa saat ini. Rasa dan Raka menolak untuk melabeli diri masing-masing dengan
sebutan pacar, karena hubungan yang terjalin di antara mereka memang tidak
selayaknya orang pacaran, hanya sebatas teman yang saling mengerti satu sama
lain, itu saja. Rasa mendongakkan kepalanya, memasang muka sebal pada Raka.
Raka menanggapi muka sebal Rasa dengan memamerkan deretan giginya yang putih
dan rapi.
“Sorry...?” katanya, meringis.
“Sora-sori,
sora-sori... jamuran tau mas...” Jawab Rasa, masih dengan ekspresi sebal.
“Ada
praktikum tadi, dadakan. Maaf ya?” kata Raka yang kini sudah berubah serius.
“Oke,
yauda, mas mau ngomong apa sih sampe nggak bisa diomongin di telepon segala?
Tumben...”
“Mm,
Sa...” kata Raka ragu-ragu. Rasa menunggu.
“Nggak
sih, cuma mau minta ditemenin ke makam mama...” kata Raka akhirnya. Ia
berbohong. Sebenarnya Raka ingin mengatakan bahwa ia ingin memperjelas ikatan
di antara mereka dengan melamar Rasa segera setelah ia dinyatakan lulus dari
sekolah menengahnya, tapi Raka mengurungkan niatnya karena tidak ingin membuat
Rasa terbebani. Seperti sebuah pasangan radar yang selalu mengetahui dengan
tepat kondisi masing-masing, Rasa tahu bahwa Raka tidak benar-benar hanya ingin
ditemani ke makam mamanya, tapi Rasa tidak memaksa Raka untuk mengatakan apa
yang sudah ia putuskan untuk tidak dikatakannya, maka Rasa hanya tersenyum.
“Oh,
oke... kapan mas?”
“Minggu
ini, at 9. Aku jemput. Cool?”
“Cool.”
Jawab Rasa dengan senyum khasnya.
“Oke.
Pulang? Aku anter?” tanya Raka menawarkan tumpangan.
“Nggak
deh, aku uda SMS Mbak Ica minta jemput tadi. Mas Raka duluan aja, bentar lagi
Mbak Ica juga dateng.”
“Aku
tunggu di sini sampe Ica dateng kalo gitu, aku nggak mau kamu diculik, hehehe.”
Kata Raka. Ia mengambil posisi duduk bersebrangan dengan Rasa karena dengan
begitu ia bisa menatap Rasa lebih jelas. Rasa menundukkan wajahnya yang tampak
memerah.
Lima menit kemudian sepeda
motor matic putih yang sering di sebut kuda putih oleh Rasa memasuki pelataran
sekolah Rasa. Mbak Ica—kakak Rasa—membuka helm yang dipakainya dan memanggil
Rasa.
“Dek,
buruan keburu maghrib di jalan.”
“Iya.”
Kata Rasa. Ia bangkit dari tempat duduknya dan melambaikan tangan pada Raka,
“Duluan,
mas.” Katanya sambil berlari menuju kakaknya. Raka melambai. Kuda putih milik
Ica melaju membelah jalanan kota Surabaya yang mulai gelap. Senja merah saga
akan segera tenggelam, berganti permadani hitam penghias malam.
❀
Sesampainya di rumah, Rasa dikejutkan dengan
kedatangan Renaldi yang ternyata telah menunggunya sejak sore tadi. Orang
tuanya dan orang tua Renaldi adalah sahabat sejak mereka duduk di bangku
kuliah, keadaan itu membuat Rasa dan Renaldi juga dekat. Rasa menganggap
Renaldi sebagai sahabat sekaligus kakak laki-laki yang tidak pernah
dimilikinya.
“Mas Aldi? Tumben...” kata Rasa spontan
ketika melihat Renaldi telah duduk manis di ruang tamunya.
“Iya nih Sa, ada yang pengen aku omongin sama
kamu.” Kata Renaldi sumringah.
“Oya? Apa?” tanya Rasa, penasaran. Renaldi
hanya tersenyum.
“Nanti aja, masuk dulu sana. Mandi, Sholat.
Setelah itu baru aku ngomong.”
“Mas Aldi uda sholat? Kok uda anteng duduk di
kursi...”
“Belum, kan baru adzan. Aku nungguin papamu,
mau jamaah di mushola depan.”
“Menantu idaman.” Jawab Rasa sambil nyengir
menatap kakaknya, yang di tatap tak acuh dan nyelonong masuk ke ruang tengah. Rasa masih tertawa cekikikan
melihat kakaknya yang gondok setiap kali ia mencoba menjodohkannya dengan Mas
Aldi—panggilan kecil Renaldi—nya.
Renaldi yang tidak benar-benar memahami candaan kedua kakak-beradik itu hanya
diam tidak menanggapi kata-kata Rasa. Ada hal lain yang sekarang lebih
mengganggu pikirannya yaitu, reaksi Rasa setelah mengetahui maksud dan
tujuannya datang hari ini, nanti.
Rasa telah duduk manis dengan
dua gelas jus tomat favorit Renaldi di depannya. Ia menunggu Renaldi pulang
dari mushola bersama papanya. Lima menit kemudian Renaldi dan papanya terlihat
memasuki pintu pagar rumah. Rasa masih duduk dalam posisinya semula, Renaldi
melihat dua gelas jus toma kesukaanya telah siap di meja ruang tamu, ia
tersenyum.
“Wow,
baik banget.” Katanya. Papa Rasa tersenyum menyaksikan cara Rasa memperlakukan Renaldi
yang telah menunggunya sejak sore tadi.
“Your favorite, as my apology for letting you
wait..” Jawab Rasa, tulus.
“No need to apologize actually, but thanks.
You know me so well~” Renaldi menjawab dengan menyanyikan satu bait lirik
lagu salah satu boy band yang tidak begitu digemarinya. Rasa tertawa mendengar
Renaldi menyanyikan lirik lagu tersebut.
Papa Rasa mengambil tempat
duduk di samping Rasa, sementara Renaldi memilih duduk di sofa yang menghadap
ke arah Rasa. Rasa yang tidak mengira bahwa papanya juga akan bergabung dengan
mereka saat itu merasa ada sesuatu yang sangat penting yang akan disampaikan
oleh Renaldi, mengingat papa Rasa bukanlah seorang ayah dengan tipikal gemar nimbrung obrolan remaja. Setelah
berbasa-basi selama beberapa saat, Renaldi mulai mengutarakan maksud dan tujuan
kedatangannya hari itu.
“Sa,
aku dapet beasiswa S2 di Perancis.” Kata Renaldi membuka pembicaraan seriusnya.
“Hah?
Serius mas? Wah, kereeen... selamat!” Sahut Rasa bersemangat. Ia ikut
berbahagia dengan kabar baik yang disampaikan Renaldi tersebut.
“Iya,
Alhamdulillah. Mm, makasi Sa.” JawabRenaldi.
“Then?
Problem? Kok mukanya mas kuyu nggak semangat gitu sih?” tanya Rasa beruntun,
karena ia tidak melihat sirat kebahagiaan di wajah Renaldi.
“Papa
sama Mama minta aku menikah—atau setidaknya bertunangan—dulu, sebelum aku
berangkat ke Perancis. Aku... aku, kesini, untuk meminta kamu.” Kata Renaldi
sedikit terbata. Rasa terlihat sedang berusaha mencerna perkataan Renaldi
dengan baik. Ia tertegun.
“Kamu
nggak perlu jawab sekarang kok, Sa... aku cuma mau menyampaikan niatku aja hari
ini, aku sudah minta ijin sama papamu tadi sebelum kamu datang, beliau
menyerahkan sepenuhnya sama kamu, begitu juga aku.” Lanjut Renaldi. Rasa masih
belum terlihat ingin memberikan tanggapan. Ia terdiam lama, menciptakan
kristal-kristal waktu.
Setelah
terdiam selama sepuluh menit, Rasa akhirnya membuka mulut.
“Kenapa,
Rasa?” tanyanya.
“Karena
aku sayang sama kamu Sa...” jawab renaldi sendu.
“Rasa
juga sayang sama Mas Al, tapi rasa sayang itu tidak lebih dari kasih sayang
seorang adik terhadap kakak laki-lakinya... Maafin Rasa ya, Mas Al? Mungkin
bukan Rasa orang yang tepat buat Mas Al...” kata Rasa panjang lebar. Ada batu
yang membelesak hatinya saat ini, ia tidak pernah menyangka bahwa ia-lah yang
pada akhirnya menghunus hati laki-laki yang sudah ia anggap sebagai kakaknya
itu dengan pisau tajam yang menyakitkan. Aldi terdiam. Ia terlihat sedang
berusaha keras untuk bersikap tenang dan dewasa. Setelah beberapa saat, Aldi
tersenyum ke arah Rasa.
“It’s fine. Sudah dianggap kakak oleh
adik semanis kamu, itu cukup. Kalo gitu, mungkin aku harus mulai cari calon
istri yang lain, hehehe. Om, Aldi pamit. Assalamualaikum.” Katanya seraya
menjabat tangan papa Rasa yang terlihat tidak enak dengannya.
Sepeninggal Renaldi dari
rumahnya, papa Rasa berbicara singkat pada Rasa.
“Papa
harap kamu benar-benar menyadari apa yang baru saja kamu lepaskan, Rasa.”
Selesai berkata demikian, papa Rasa meninggalkannya sendirian di ruang tamu.
❀
Satu
bulan sejak hari penolakannya terhadap Renaldi, Rasa mendapatkan undangan
pernikahan dari Renaldi di meja belajarnya. Ia bertanya pada mamanya kapan
undangan itu diantar dan kata mamanya baru tadi pagi undangan itu diantar via
pos. ‘Apa Mas Al masih marah sama aku?
Kenapa dia nggak mau nganter undangannya sendiri ke aku?’ batin Rasa tidak
nyaman.
23 Februari 2010, Rasa
menghadiri acara pernikahan Renaldi dan Ratna. Ratna adalah teman satu kelas
Renaldi semasa kuliah, satu tipe, satu minat. Dari apa yang didengarnya, Ratna
juga mendapatkan beasiswa yang sama dengan Renaldi, hanya saja kali ini Ratna
mengambil Interior Design, berbeda
dengan Renaldi yang memilih jalur Arsitek, linear dengan pendidikan sarjananya.
Rasa berjalan ke pelaminan
dengan kepala tertunduk. Renaldi melihat Rasa dari kejauhan, ia telah
mempersiapkan diri untuk hari itu. Renaldi sama sekali tidak marah pada Rasa,
hanya saja ia masih belum bisa sepenuhnya menghapus Rasa dari dalam hatinya.
Meski demikian, Renaldi berusaha untuk menghargai Ratna sebagai istrinya sekarang,
seperti janjinya di hadapan Tuhan dan segenap saksi yang menyaksikan prosesi
akad nikah mereka kemarin. Rasa menangkupkan kedua tangannya di hadapan
Renaldi, Ica yang berada tepat di belakang Rasa mencoba untuk menyelamatkan
adiknya dari suasana tidak nyaman berpura-pura terdorong oleh tamu yang berada
di belakangnya. Rasa beralih ke Ratna, ia menyalami Ratna, tapi di luar
dugaannya, Ratna menarik tangan Rasa dan memeluknya, pelukan hangat seorang
kakak. Ratna membisikkan beberapa kata kepada Rasa.
“Terimakasih
sudah menjadi adik yang manis untuk Aldi, aku harap mulai sekarang kamu juga
bisa menganggapku sebagai kakakmu.” Selesai berkata demikian, Ratna melepaskan
pelukannya dan tersenyum tulus ke arah Rasa. Rasa balas tersenyum.
Mendengar bisikan dari Ratna,
entah kenapa membuat Rasa merasa lega. Kelegaan yang sulit digambarkan. Dalam
hatinya ia tulus mendoakan kebahagiaan bagi Ratna dan Renaldi.
❀
Lima Tahun Kemudian
Juli, 2015
Rasa
melepas muridnya satu per satu de depan gerbang taman kanak-kanak tempatnya
mengajar sekarang. Setelah lulus kuliah Rasa bekerja menjadi asisten dosen di
kampusnya, selain itu ia juga mengambil pekerjaan sebagai seorang guru taman
kanak-kanak. Anak-anak selalu membuatnya merasa tenang, kebahagiaan sederhana
yang bisa ia dapatkan kapan pun itu terletak pada senyum manis murid-muridnya.
Melalui anak-anak, Rasa juga belajar untuk melepaskan kesedihannya sedikit demi
sedikit setelah meninggalnya Raka satu tahun silam.
Rasa menghampiri salah seorang
muridnya yang belum dijemout oleh orang tuanya. Anak perempuan yang wajahnya
mengingatkan Rasa akan seseorang itu bernama Rena. Rasa tersenyum dan menyapa
Rena yang terlihat sedang menghitung waktu dengan jemari mungilnya itu.
Kebiasaan unik Rena ini tiba-tiba mengingatkannya pada sosok Renaldi yang sudah
sekian lama tidak ia dengar kabarnya. Dulu, Renaldi juga gemar sekali
menghitung waktu dengan jari-jarinya, tidak jarang ia mengucapkan angka-angka
itu keras-keras untuk menghalau bosan karena menunggu, mengingat Renaldi membuat Rasa menghela nafas
tanpa sadar. Rasa menyapa Rena,
“Rena
belum dijemput?”
“Belum,
Bu guru..”
“Ibu
temenin di sini, boleh?”
“Boleh,
bu...” kata Rena, imut.
Lima menit kemudian sebuah mobil
sedan hitam berhenti di depan pagar sekolah. Perempuan muda berkerudung biru
cerah keluar dari mobil tersebut. Rasa belum menyadari jika perempuan itu
adalah Ratna, tapi Ratna tahu perempuan yang kini menemani putrinya itu adalah
Rasa. Ratna berjalan menghampiri Rena dan Rasa.
“Mama...” teriak Rena begitu
melihat Ratna memasuki sekolah. Ratna menyambut Rena dalam pelukan. Ia
mengusap-usap rambut Rena sayang. Rasa berjalan menyusul Rena dan Ratna, ia
tersenyum ke arah Ratna namun senyum itu berubah menjadi ekspresi kaget setelah
Rasa menyadari bahwa mama dari muridnya tersebut adalah istri dari laki-laki
yang baru saja melintasi pikirannya. Pantas wajah Rena seperti mengingatkannya
pada wajah seseorang, ia baru menyadari bahwa wajah Renaldi-lah yang terduplikasi
secara sempurna di wajah Rena. Mata, hidung, dan mulut mereka berdua
benar-benar identik. Ratna tersenyum ke arah Rasa.
“Lama
nggak ketemu, dek...” kata Ratna yang menyelipkan kata ‘dek’ di akhir
kalimatnya, membuat Rasa menjadi semakin kikuk. Rasa mengangguk saja.
“Kamu,
sibuk? Kalo nggak keberatan, ayo main ke rumah... kita saling tukar kabar
masing-masing, gimana?” ajak Ratna. Rasa enggan untuk mengiyakan ajakan
tersebut, tapi ia juga tidak memiliki alasan untuk menolak ajakan Ratna, ia
pantang berbohong. Pada akhirnya, Rasa memutuskan untuk memenuhi undangan Ratna
berkunjung ke rumahnya, temu kangen katanya.
❀
Rumah
Ratna besar, tapi terkesan sangat minimalis. Cat rumah yang berlokasi di salah
satu perumahan elite kota Malang ini didominasi warna krem dan coklat, warna
favorit Renaldi, seingat Rasa.
Ratna banyak bercerita
kehidupannya selama empat tahun di Perancis. Ia dan Renaldi telah memiliki 3
orang anak sekarang, si sulung Rena 4 tahun, yang kedua, laki-laki, Raldi 3
tahun, dan si bungsu cantik yang belum genap 4 bulan, Rasa. Rasa sempat kaget
ketika ratna menyebutkan nama anak bungsunya. Ia tidak menyangka bahwa Renaldi
akan memberikan namanya untuk nama anaknya, meski hanya nama panggilan karena
nama asli mereka berbeda, ia, Ralisa Ahmad, sementara nama putri bungsu Renaldi
dan Ratna cukup unik, Mutiara Rasa.
“Kamu,
gimana? Sudah menikah?” tanya Ratna akhirnya. Kini giliran Rasa yang harus
bertukar cerita pada Ratna. Sebenarnya ia enggan bercerita tentang dirinya,
mengingat hal itu pasti akan mengingatkannya pada kejadian tragis yang menimpa
Raka satu tahun silam. Mata Rasa menerawang jauh, kepergian Raka meninggalkan patahan yang cukup serius
di hati Rasa. ‘Patahan yang belum
benar-benar sembuh, mungkinkah hari ini aku harus mengulangi semua ceritaku dan
mulai mengumpulkan setiap patahan dari awal lagi?’ batinnya perih.
Rasa mulai bercerita, ia sangat
berusaha untuk terlihat tegar. Setelah Renaldi dan Ratna menikah, Rasa
melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Malang. Ia
mengambil mayor Sastra Indonesia yang memang telah menjadi minatnya sejak ia
duduk di bangku sekolah. Semuanya berjalan lancar sampai ia di wisuda. Satu
bulan setelah wisuda-nya, ia dan Raka berencana menikah. Namun, manusia
terbentur pada kemampuannya yang hanya sebatas perencana, seindah apapun rencana manusia, rencana Tuhan-lah yang
menjadi penentu. Rencana pernikahannya dan Raka semestinya sudah hampir menjadi
sebuah kenyataan, sebelum Tuhan mengambil nyawa Raka lewat sebuah kecelakaan
beruntun tepat sehari sebelum ia mengucapkan ijab qobul pernikahan mereka.
Setelah kepergian Raka, Rasa berjuang keras untuk bangkit dari rasa sedihnya. Show must go on, itu prinsipnya. Sepahit
apapun takdir memperlakukannya, Rasa berusaha menghapus kepahitan itu dengan
senyuman. Rasa menenggelamkan dirinya dalam kesibukan. Ia mengambil dua
pekerjaan sekaligus, asisten dosen dan pengajar taman kanak-kanak. Selain itu, ia
juga memutuskan untuk meneruskan pendidikannya ke strata dua. Rasa mengakhiri
ceritanya dengan mengambil nafas dalam, lalu menghembuskannya tertahan. Ratna
memeluk Rasa. Mereka berdua berpelukan dalam waktu yang lama dan tidak
menyadari kehadiran Renaldi di tengah-tengah mereka.
Ratna melepaskan pelukannya dan
mendapati Renaldi berdiri di belakang Rasa, ia beranjak membawakan tas Renaldi.
“Maaf
mas, aku nggak denger mas pulang...” kata Ratna. Rasa tidak menoleh, ia diam
pada posisinya.
“Nggak
apa-apa, kayaknya kamu juga lagi ada tamu yang butuh dihibur, eh?” kata Renaldi
setengah bercanda, ia belum menyadari bahwa tamu istrinya adalah Rasa.
“Iya,
mas... tamuku ini, Rasa, adikku.” Kata Ratna. Lagi-lagi ia menyelipkan kata
adik di akhir kalimatnya. Rasa berbalik, ia tersenyum ke arah Renaldi, Renaldi
balas tersenyum.
“Hai,
Sa... sudah lama banget ya? Nggak nyangka bisa ketemu di sini...”
“Rasa
ini gurunya Rena di sekolah mas, aku baru tau hari ini. Tadi aku sedikit
terlambat menjemput Rena di sekolah, dan Rasa menemani Rena sampai aku datang,
karena dia nggak lagi sibuk, aku ajak aja ke rumah, temu kangen.” Jelas Ratna
panjang lebar, Rasa hanya mengangguk mengiyakan.
“Oh...”
sahut Renaldi, tidak banyak berkomentar.
“Yauda,
lanjutin aja ngobrolnya... aku masuk dulu ya,” kata Renaldi yang langsung masuk
ke dalam rumah, di susul Ratna yang masuk membawakan tas Renaldi.
Rasa merasa Renaldi tidak
begitu nyaman dengan kehadirannya, ia memutuskan untuk segera pamit jika Ratna
kembali nanti. Sayang, Ratna membuat Rasa tertahan lebih lama di rumahnya,
Ratna meminta Rasa untuk menunggu sampai makan malam karena ia telah menyiapkan
makanan yang menurutnya akan menjadi favorit Rasa di kemudian hari, Rasa tidak
tahu. Rasa tidak enak jika hanya berdiam diri di ruang tamu, ia menawarkan diri
untuk membantu Ratna di dapur, namun Ratna menolak bantuan dalam bentuk apapun
selama ia sedang memasak, ia justru menyuruh Rasa bermain dengan Rasa kecil
yang baru saja dimandikan oleh baby-sitternya,
Rasa menurut.
Rasa menggendong tubuh Rasa
kecil yang begitu mungil. Jika Rena dan Raldi merupakan duplikasi sempurna dari
Renaldi, maka putri bungsu dari Ratna dan Renaldi ini adalah perpaduan sempurna
wajah kedua orang tuanya. Mata Rasa kecil merupakan duplikasi dari mata Ratna
yang sipit, semntara hidung dan mulutnya merupakan duplikasi dari Renaldi. Rasa
menikmati momennya bersama Rasa kecil. Renaldi menatap Rasa dari kamar
putranya, Raldi. Jika boleh jujur, Renaldi senang bisa bertemu dengan Rasa hari
ini. Lima tahun tidak bertemu, membuahkan rindu yang cukup dalam di hati
Renaldi. Rasa, perempuan yang dulu pernah dicintainya, sama sekali tidak
berubah. Rasa tetap seperti sebutir telur, keras dan tegas di luar, tapi
sesungguhnya ia sangatlah rapuh.
Makan malam telah siap. Ratna
memasak berbagai jenis masakan di meja makan, tumis kailan, tumis buncis,
wortel dan telur puyuh, ayam kremes, dan fillet
gurame asam-pedas. Semua makanan itu terlihat lezat. Rasa menikmati
makanannya, masakan Ratna sangat enak. Sebagai seorang istri, Ratna terlihat
tidak memiliki celah, sholehah, cantik, pintar, keibuan, masakannya pun enak. ‘Mas Al nggak salah pilih istri,’ batin
Rasa lega. Ratna meminta pendapat Rasa tentang masakannya di tengah-tengah
makan malam mereka.
“Gimana
dek? Enak?”
“Banget.
Jempol deh, Mbak...” jawab Ratna, tersenyum tulus.
“Syukurlah
kalo gitu, hehe.” Ratna tertawa lega.
“Mbak,
mbak kerja di mana sekarang?” kata Rasa membuka pembicaraan.
“Di
perusahaannya Mas Aldi, tapi aku cuma jadi konsultan aja sih, nggak kerja di
kantor. Mas Aldi ngasi aku gambaran eksteriornya, aku ngonsep interiornya dari
rumah, kalo cocok, pegawainya Mas Aldi yang nerusin langkah selanjutnya, aku
tinggal kasi masukan. Enak. Nggak perlu capek ke kantor, hehe.” Katanya
bercanda. Setelah obrolan tersebut, menit yang tersisa mereka lewatkan dalam
pikiran masing-masing. Renaldi tidak terlalu banyak bicara, hal ini membuat
Rasa menjadi tidak nyaman. Ia sudah memutuskan, setelah ini ia akan segera
berpamitan.
Rasa menyelesaikan piring
terakhirnya dan meletakkannya di rak piring. Setelah makan, Rasa memaksa Ratna
untuk mengijinkannya mencuci piring, dan dengan sangat terpaksa Ratna
mengijinkannya karena Rasa mengancam ia tidak akan mau diundang makan lagi jika
Ratna menolak bantuannya yang tidak seberapa jika dibanding makan malam yang ia
dapatkan.
“Mbak,
aku pamit ya? Makasi buat makan malamnya hari ini...” pamit Rasa.
“Aku
anter ya? Uda malam nih, kamu naik angkot kan?”
“Nggak
usah deh mbak, kontrakan aku deket kok dari sini...” tolak Rasa, halus.
“Nggak
apa-apa, sekalian biar aku tau kamu tinggal di mana...” sahut Ratna setengah
memaksa. Rasa mengiyakan.
Ratna menghentikan mobilnya di
depan sebuah rumah kontrakan yang pagarnya ditumbuhi bunga bougenvile. Ratna
mengantarkan Rasa sampai ke depan pintu rumah kontrakannya.
“Sendirian?”
tanya Ratna.
“Nggak
mbak, ada temen aku 2. Mau mampir dulu?” ajak Ratna berbasa-basi.
“Nggak
deh, lain kali aja... yauda aku balik dulu, kamu masuk gih dek...” Ratna
berpamitan, Rasa melihat mobil Ratna berlalu dan ia pun bergegas masuk ke rumah,
satu hari yang panjang telah ia lalui.
❀
Sejak
pertemuan hari itu, Ratna menjadi semakin sering menemui Rasa. Banyak hari yang
mereka lewatkan berdua. Di satu sisi, Rasa merasa senang karena ia memiliki
teman baru yang sudahia anggap seperti kakaknya sendiri, Rasa banyak belajar
bagaimana hidup berumah tangga dari Ratna, tapi di sisi lain, intensitas
bertemu dengan Ratna yang cukup sering membuatnya harus sering bertatap muka
dengan Renaldi—karena Ratna bukan tipikal yang hobi keluar rumah, maka Ratna
selalu mengajaknya ke rumahnya setiap kali mereka bertemu. Hal tersebut membuat
hati Rasa, entah bagaimana, hidup dalam irama yang naik-turun. Sikap Renaldi
yang sudah tidak sehangat dulu menyisakan rasa yang tidak nyaman bagi Rasa
pribadi.
Hari ini Rasa janji bertemu
dengan Ratna lagi. Rasa menunggu Ratna menjemput Rena seperti biasanya. Lima
menit kemudian, Ratna tiba di taman kanak-kanak Rena. Mereka bertiga meluncur
ke sebuah supermarket yang terletak
di sebuah Mall di tengah kota yang
terkenal dengan buah apelnya itu. Ratna mengajak Rasa belanja beberapa
kebutuhan rumah tangga sebelum mereka pulang ke rumah Ratna.
Usai berbelanja, Ratna mengajak
Rasa untuk minum kopi di Baker’s King. Rasa merasa Ratna sedikit di luar
kebiasaannya hari ini, namun karena merasa sungkan untuk menolak, maka Rasa
mengiyakan saja ajakan Ratna. Mereka bertiga—Ratna, Rasa, dan si kecil Rena—duduk
di sudut kafe yang sekaligus toko kue
tersebut.
“Aku
pasti seneng kalo bisa seperti ini setiap hari sama kamu.” Ucap Ratna, matanya
menerawang.
“Mbak
ngomong apa sih? Kita kan sering berdua begini... nggak perlu setiap hari, ntar
mbak bosen sama aku... hehehe.” Jawab Rasa bercanda, namun Ratna memang seperti
bukan Ratna hari ini, ia menatap Rasa lurus ke matanya.
“Sa,
menikahlah dengan Mas Aldi...” katanya tiba-tiba.
“Mbak!
Mbak Ratna ngomong apa sih?” sahut Rasa gusar.
“Mas
Aldi masih sangat menyayangi kamu, Sa... aku tau itu.”
“Mbak
pasti salah, ngaco deh... Mas Aldi tuh cinta banget sama mbak, aku cuma kepingan
dari masa lalu Mas Aldi yang sudah tidak ada artinya sekarang.” Jawab Rasa
meyakinkan.
“Aku
istrinya Sa, aku tau apa yang suamiku rasakan. Menikahlah dengan Mas Aldi,
Sa... aku mohon?” kata Ratna dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Rasa mulai
tidak nyaman dengan situasi seperti itu, ia mengemasi tasnya dan bergegas pergi
meninggalkan Ratna yang mungkin sedang terganggu pikirannya, namun Ratna
menahan pergelangan tangan Rasa sebelum ia sempat melangkahkan kaiknya menjauh.
“Aku
sakit Sa...” kata Ratna yang hampir tedengar seperti bisikan. Rasa kembali ke
tempat duduknya, sementara Ratna terlihat mulai menangis. Rena yang melihat
mamanya menangis mulai ikut menangis. Rasa setengah panik, tidak tahu harus
berbuat apa.
“Mbak,
Rena ikut nangis mbak.. udah, jangan nangis... cerita pelan-pelan ya mbak?”
kata Rasa menenangkan. Ratna menyeka air matanya. Ia juga menenangkan Rena yang
tadi sempat ikut sesenggukan dengannya. Setelah Rena tenang, Ratna mulai
bercerita kepada Rasa.
“Kanker
serviks, stadium 2.” Katnya singkat. Raut wajar Ratna mengguratkan ketegaran
yang dibuat-buat. Rasa melongo, kaget bukan main.
“Setelah
melahirkan Rasa, aku baru tau kalo aku mengidap kanker Sa, Rasa benar-benar
keajaiban buatku... dua bulan belakangan aku rajin ikut pengobatan alternatif
untuk menyembuhkan penyakitku, tapi kamu taulah sejahat apa penyakitku ini. Dokterku
menyarankan untuk mengangkat kandunganku, tapi itu pun tidak bisa menjamin
kesembuhanku seratus persen. Aku berpikir, mungkin akan jauh lebih baik jika
aku memeprsiapkan kematianku mulai dari sekarang. Hal peryama yang harus aku
selesaikan adalah, mencari istri dan ibu baru untuk suami dan anak-anakku,
kamu.” Kata Ratnapanjang lebar. Air matanya mulai menetes satu demi satu.
“Mbak,
apa salahnya mencoba tindakan operasi? Meskipun tidak ada jaminan untuk bisa
sembuh seratus persen, tetap saja hal itu bukanlah hal yang sia-sia untuk
dicoba, jika masih ada harapan dan kemungkinan, kita harus kejar, sekecil
apapun itu. Oke?” kata Rasa menyemangati. Ratna tidak menanggapi.
“Apa
bagusnya sih Sa, perempuan tanpa rahimnya?” jawabnya putus asa. Rasa menghela
nafas berat, ia tidak bisa menolong Ratna jika Ratna sudah demikian kehilangan
cahaya lilinnya. Rasa hanya mengelus tangan Ratna, prihatin.
Detik berikutnya, Ratna
menghapus air matanya dan bersikap seolah-olah tidak ada beban besar yang
sedang ia tanggung. Ia mengajak Rasa bergegas pergi dari kafe tersebut dan
pulang.
❀
Seminggu
kemudian, Rasa mendengar Ratna masuk rumah sakit. Siang hari itu juga, Rasa
memutuskan untuk menjenguk Ratna di rumah sakit. Ratna terbaring lemah di
tempat tidurnya. Di sampingnya Renaldi terlihat setia menunggu sambil
menggenggam tangan istrinya. Rasa berdiri di depan pintu kamar Ratna, enggan
mengganggu, namun Ratna yang segera terbangun tidak lama setelah kedatangan
Rasa, melihat Rasa dan melambaikan tangannya, meminta Rasa masuk. Renaldi menyingkir
dari sisi Ratna dan mempersilahkan Rasa duduk di tempatnya tadi. Rasa meneteskan
air mata, antara sedih dan tidak menyangka bahwa kondisi Ratna akan begitu
cepat memburuk. Ratna menghapus anak sungai yang mengalir dari kedua mata Rasa,
ia menggelengkan kepalanya, meminta Rasa untuk tidak menangis. Alih-alih
menghentikan tangisnya, Rasa justru semakin sesenggukan.
“Jangan
nangis Sa, aku nggak apa-apa kok...” kata Ratna lemah. Rasa menyeka air
matanya, sementara Renaldi menyaksikan kedua wanita itu dengan hati seperti
diiris-iris.
“Penuhi
permintaanku ya, Sa? Demi Rena, Raldi, dan Rasa.” Kata Ratna.
“Mbak,
jangan ngomong yang naeh-aneh dulu, mbak pasti sembuh...” jawab Rasa, menolak
sikap lemah Ratna.
“Kumohon?”
Ratna masih tetap mendesak.
“Mbak...”
Rasa kehabisan kata-kata, ia menunduk, kembali meneteskan air matanya.
Rasa mengakhiri kunjungannya
hari itu dengan satu janji baru, janji yang terpaksa ia lakukan untuk
menyenangkan Ratna. Rasa berjanji pada Ratna bahwa jika Ratna meninggal nanti,
Rasa akan bersedia menggantikan posisinya sebagai istri Renaldi dan ibu dari
anak-anak Ratna.
❀
Dua
hari setelah kunjungannya, Rasa mendapat SMS dari Renaldi bahwa Ratna meninggal
dunia. Subuh tadi, Ratna menghembuskan nafas terkahirnya. Kesempatan untuk
sembuh dan kemauan untuk sembuh yang meredup membuat Ratna tidak lagi mampu
bertahan lebih lama. Pukul delapan pagi, jenazah Ratna dikebumikan di Surabaya.
Pagi itu, Ratna memacu sepeda motornya dengan kecepatan yang luar biasa, ia
tidak ingin kehilangan momen terakhirnya bersama Ratna.
❀
Desember, 2017
Sudah
dua tahun berlalu sejak meninggalnya Ratna. Rasa terlihat sibuk menyiapkan
keperluan sekolah kedua anaknya dengan kondisi perut yang mulai membesar. Enam
bulan setelah kepergian Ratna untuk selama-lamanya, Rasa memenuhi janjinya
dengan menikahi Renaldi dan menjadi ibu bagi ketiga anaknya, sekarang, ia
tengah hamil 7 bulan.
“Rena
sayang, ayo sarapan... nanti kamu terlambat masuk sekolah nak,”
“Raldi,
seragamnya buruan dipake... sudah siang nak,” celoteh Rasa sementara ia
menyiapkan meja makan untuk sarapan.
Si kecil Rasa yang sekarang
berusia 2 tahun menangis dari dalam kamarnya, Rasa menghampiri putri kecilnya
itu.
“Sayang,
bidadarinya mama kenapa nangis? Cup, cup, cup...” Rasa menenangkan si kecil
Rasa. Ia tidak bisa dengan mudah menggendong Rasa kecil karena kondisi perutnya
yang membuncit. Renaldi membantu Rasa, ia menggendong putri kecilnya itu dan
mengajaknya ke luar kamar. Rasa tersenyum, berterimakasih.
Mereka berlima di meja makan,
Raldi memimpin doa sebelum makan. mereka makan dalam kehangatan keluarga kecil
yang bahagia. Setelah makan, Renaldi mengantar Rena dan Raldi ke sekolah karena
hari ini Sabtu, Renaldi libur.
Renaldi kembali dari mengantar
kedua buah hatinya ke sekolah, ia duduk di ruang TV, memindah-mindahkan channel
beberapa kali sebelum akhirnya memutuskan untuk menemui Rasa yang sedang
bersama Rasa kecil di kamar bermainnya.
“Uda
balik? Aku nggak denger, maaf ya...”
“Nggak
apa-apa, lagian gimana mau dengar kalo kamu asik main sama Rasa...” kata
Renaldi bercanda.
“Rasa
pinter banget deh mas, dia udah bisa ngitung pake jarinya.” Lapor Rasa pada
Renaldi.
“Alhamdulillah,
anak kita semua pinter-pinter dek...”
“Alhamdulillah...”
ucap Rasa, ada haru dalam hatinya. Renaldi duduk di samping Rasa, sementara
Rasa kecil sibuk membongkar-pasang puzzle
angkanya.
“Jadi,
mau kita kasih nama siapa anak kita yang satu ini?” tanya Renaldi sambil
mengusap perut Rasa yang membuncit.
“Oiya,
aku belum bilang sama mas... aku, mau kasi nama anak kita ini, Rama.”
“Oke,
R-family? Hehehe... apa arti Rama,
dek?”
“Laki-laki
yang tangguh, mungkin? Aku nggak tau arti persisnya sih, aku pilih nama itu
karena itu merupakan singkatan dari rasa terimakasihku ke Mbak Ratna, yang
telah membuatku berjanji padanya. Janji yang sekarang sangat aku syukuri.”
“Singkatan
dari, apa?” tanya Renaldi penasaran.
“mbak
RAtna teriMAkasih.” Jawab Rasa dengan senyum khasnya. Renaldi memeluk bahu
istrinya sayang.
❀
Cinta
selalu tahu waktu yang tepat untuk datang, tidak pernah datang lebih cepat,
tidak lebih lambat—karena cinta tak pernah datang terlambat.
Maulisa, 06072013.
Antariksa, waktu
malam.